Pengelolaan Kawasan Konservasi
Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang "steril" dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, dan beberapa kawasan konservasi lainnya di Indonesia.
Kekerasan di Hutan : Pengelolaan Kawasan Konservasi
Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang "steril" dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, daTaman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan
Taman Nasional Komodo terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, ditetapkan berdasarkan SK Menhutbun No 172/Kpts-II/2000 dengan luas wilayah 132.572 hektar (wilayah daratan seluas 40.728 hektar), keputusan ini merupakan penetapan yang ketiga sejak penetapan pertamanya tahun 1980. sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak zaman Belanda.
Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer. Berada di ketinggian 500–600 dpl dan terletak diantara pulau Sumbawa (NTB) dan pulau Flores (NTT), meliputi pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan).
Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan "favorit" bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (
Sejak tahun 1995 Pemerintah pusat melalui LIPI dan Kementerian Lingkungan
Nama WAKATOBI diambil dari nama awal empat pulau utama di kawasan tersebut yaitu (Wanci, Kaledupa, Tomia & Binongko). Dengan pengawasan sebuah kantor perwakilan Taman Nasional di
Pendudukan lahan Dongi-dongi yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat (4) kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Namun pada saat itu, pendudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat (4) desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu.
Masyarakat di empat (4) desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga (3) kecamatan, seperti: Kecamatan Dolo; Kecamatan Marawola; Kecamatan Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983.
Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan (memiliki ketergantungan pada hasil hutan-red), seperti suku Da"a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat (4) desa ini. Namun, melalui kedua project pemindahpaksaan (involuntary resettlement) ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang.
Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas 2 Ha untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 Ha untuk setiap KK. Sementara jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga (3) generasi. Seperti yang terjadi di Desa Kamarora A yang bertambah menjadi Kamarora B.
Wilayah Dongi-dongi sendiri merupakan lahan bekas areal konsesi PT Kebun Sari sejak tahun 70-an, sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara, masyarakat dari empat (4) desa ini, kala itu banyak yang menjadi buruh pada PT Kebun Sari. Diwaktu senggang, mereka menanam kopi, coklat, pada areal ini. Dan tanaman-tanaman tersebut, seperti Kopi, hingga saat masih terawat dengan baik. Bahkan, ada yang jauh sebelum ada PT Kebun Sari, TNLL, dan jalan Poros Napu-Palolo, mereka telah menanami areal itu dengan tanaman Kopi. Tanaman-tanaman inipun masih ada sampai sekarang. Inilah salah satu alasan, kenapa mereka berulang kali melakukan pendudukan dan mempertahankan lahan tersebut.
Taman Nasional RAW ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1999 lewat keputusan Menteri Kehutanan RI no 756/kpts/II/1990, dengan luas 105.194 Ha TN RAW membentang dari mulai kabupaten Kendari – Kolaka hingga ke kabupaten Buton. Proses penetapannya sendiri sudah dimulai sejak dikeluarkannya rekomendasi Gubernur
Orang Moronene diyakini merupakan suku tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi tenggara, saat ini mereka umumnya bermukim dan menyebar di sebelah selatan
Setelah tahun 1920 orang Moronene mulai banyak yang pindah dan atau dipindahkan dengan berbagai alasan di antaranya akibat bencana yang datang diantaranya. Pada tahun 1953 kampung merka diserbu dan dikuasai gerombolan badik, pada tahun 1957 terjadi penyerangan oleh pasukan DI/TII yang mengharuskan mereka meninggalkan kampungnya. Sejak peristiwa inilah Orang Moronene mulai dipindah-pindahkan oleh pemerintah ke lokasi-lokasi pemukiman baru. Namun demikian ikatan orang Moronene dengan tanah leluhurnya tidaklah hilang, secara teratur mereka masih masuk tobu HukaEa LaEa untuk berkebun dan juga membersihkan kuburan leluhurnya.
Dalam masa pengungsian inilah pemerintah mulai menunjukan sikap represif dan otoriternya dengan melakukan pembatasan-pembatasan akses Orang Moronene di tanah leluhurnya serta tindakan intimidasi di antaranya:
Pengambilalihan wilayah adat Orang Moronene secara paksa
Pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk
Pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen
Penangkapan hingga ke penahanan Orang Moronene
Penghilangan mata pencaharian masyarakat
Sebelum kejadian itu semua Orang Moronene (tobu HukaEa LaEa) telah melakukan upaya yang simpatik dalam usahanya kembali ke tanah leluhur, diantaranya dengan mengirim
Semua tindakan pemerintah tersebut berlindung dibalik "perlindungan kawasan konservasi". Untuk melegitimasi tindakannya pemerintah pun menuduh Masyarakat sebagai perusak hutan, penyerobot wilayah Taman Nasional dan juga perusak kekayaan sumber daya alam. Walaupun fakta berbicara bahwa; bukti sejarah, peninggalan bekas perkampungan, pekuburan masyarakat, bukti vegetasi, aturan-aturan adat yang masih terdokumentasikan dan masih dilaksanakan, pengakuan dari orang Moronene yang menyatakan bahwa kampung HukaEa LaEa merupakan wilayah leluhurnya, fakta bahwa hutan yang terjaga justru yang ada di wilayah hukum orang moronene.
Post a Comment